“MAKALAH KASUS DUGAAN PENISTAAN YANG DILAKUKAN OLEH AHOK DILIHAT DARI SUDUT PANDANG ILMU BUDAYA DASAR”
ILMU BUDAYA DASAR
NORMANSHAH BANOWO
NORMANSHAH BANOWO
“MAKALAH KASUS DUGAAN PENISTAAN YANG
DILAKUKAN OLEH AHOK DILIHAT DARI SUDUT PANDANG ILMU BUDAYA DASAR”
Disusun oleh :
1. Derry
Kasyfi Mafazi ( 18216396 )
2. Fajar Ihza Aryatama Tanjung ( 12216556 )
3. Maria Magdalena Tri P ( 14216258 )
4. Nike Wulandari ( 15216418 )
5. Ridho Ridiyanto ( 16216346 )
6. Tania Marsya Putri ( 17216293 )
EKONOMI / MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2016
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas karunia
dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah Ilmu Budaya Dasar ini.
Makalah
ilmu budaya dasar ini berisi materi tentang Kasus dugaan penistaan yang
dilakukan oleh Ahok dilihat dari sudut pandang Ilmu Budaya Dasar. Kami
berharap, semoga makalah ini dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat atau
menjadi jembatan bagi kita semua untuk meraih kesuksesan di masa kini maupun di
masa yang akan datang.
Sebagai
seorang manusia tentu saja saya tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun kesalahan atau
kekurangan dalam makalah ini, dan tentu saja demi kebaikan kita bersama.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih
kepada pembaca makalah ini.
Bekasi, 15 Desember 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang ............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
- Kasus dugaan penistaan yang dilakukan oleh Ahok ............................................ 2
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan ................................................................................................... 9
Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Seperti
yang kita ketahui bahwa media social adalah salah satu mediator yang mampu
menyebarkan informasi dengan cepat tanpa perlu membuat orang repot – repot lagi
membeli koran, majalah dan sebagainya untuk memperoleh berbagai informasi. Namun
sebagai timbal – baliknya informasi yang tersebar juga menjadi tidak terkontrol
dan tidak dipastikan kebenarannya, mulai dari judul yang sekedar berbeda dengan
isinya sampai dengaN judul yang sama dengan isi namun berbeda dengan kenyataan.
Di media social banyak sekali terjadi hal seperti ini. Terlepas dari berbagai factor
yang menyebabkan maraknya isu palsu yang bertebaran, masih banyak pengguna
media social yang bisa dikatakan kurang arif dan bijaksana dalam menyikapi
isu – isu tersebut.
Termasuk
dalam kasus ini sudah menjelaskan lewat akun Instagramnya bahwa beliau tidak
berniat menghina agama, namun sejumlah ormas Islam tetap melaporkan Gubernur
DKI Jakarta Ahok ke polisi di dua lokasi yang berbeda. Oleh tim sukses Ahok,
pelaporan ini dinilai tidak akan berpengaruh terhadap para pemilih. Dan Ahok
sendiri sudah menyatakan tidak berniat melecehkan ayat suci Al-Quran, terkait
pernyataannya soal surat Al-Maidah dan menegaskan dia tidak suka mempolitisasi
ayat – ayat suci.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada
dasarnya, bahwa masalah ini hanyalah persoalan bahasa, tidak harus dilakukan
kajian agama karena membahas Al-Maidah 51 yang sudah terlepas dari konteks
perkataan Ahok sendiri. Atas dasar menghargai perspektif tersebut dengan turut
memperhatikan ketiadaan ilmu agama, berikut diuraikan sedikit mengenai
Al-Maidah 51 dimulai dari terjemahan :
“Hai
orang – orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang – orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin (mu) sebagian meraka adalah pemimpin bagi sebahagian
yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
orang itu sesungguhnya termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang yang lazim” (Al-Quran Surat Al-Maidah 51).
Dari
terjemahan diatas jelas bahwa adanya larangan untuk memilih pemimpin dari
golongan non muslim. Hal inilah yang kemudian sering disampaikan di masjid –
masjid atau pun lainnya terlepas dari tujuannya apakah itu memang untuk mengajak
masyarakat kepada kebenaran atau pun untuk tujuan lain dalam tanda kutip.
Penjelasan
diketahui bahwa Orde Baru dengan kebijakan nya yang menjaga kerukunan umat
beragama menganggap terjemahan teman setia bisa diartikan oleh umat islam
sebagai perintah agar tidak berteman dengan non muslim, sehingga hal – hal yang
bisa menggangu kerukunan beragama tersebut dicegah termasuk soal haramnya perayaan
natal yang juga menjadi polemic saat itu. Hal ini jelas terlihat begitu Orde
Baru tumbang para ulama tidak lagi merasa terhalang untuk menerjemahkan Awliya
kepada makna sebenarnya yaitu teman setia.
Berdasarkan
kepada hal – hal tersebut, terlepas dari berbagai perdebatan yang ada
terjemahan Awliya di Indonesia memiliki sejarah sendiri yang erat kaitannya
dengan konteks social di Indonesia, dimana pada revisi terbaru kementrian agama
Awliya diartikan sebagai teman setia, meskipun saat ini sedang dilakukan revisi
terjemahan untuk yang ketiga kalinya. Adapun salah satu pertanyaan yang dapat
dibangun disini adalah :
“Apakah
Ahok mengetahui sejarah atau persoalan tafsir itu secara mendalam atau mungkin
saat berkata dibohongi pakai Al-Maidah 1, ia hanya berkata lurus – lurus saja
dengan pengetahuan bahwa terjemahannya adalah soal memilih pemimpin?
Untuk
memulai bahasan dari segi bahasa, sebagai seorang awam di bidan tersebut akan
dimulai dengan kalimat bahwa Bahasa Indonesia atau bahkan bahasa secara
keseluruhan memiliki beberapa masalah, baik itu dari segi penggunaanya maupun
dari bahasa itu sendiri, untuk lebih jelas adalah sebagai berkut :
1. Pada
kalimat tertulis. Tanpa tanda baca bisa muncul kesalahpahaman karena tanda baca
berfungsi untuk menggantikan ekspresi ketika kalimat tersebut diucapkan. Contoh
: “Dimana – dimana”. Tanpa tanda baca kalimat tersebut bisa berarti pertanyaan
ataupun pernyataan.
2. Salahnya
penggunaan kata tapi maksudnya bisa ditangkap. Contohnya yaitu pada lirik : “Kau
boleh acuhkan diriku”. Disini terjadi kesalahan kata, dimana kata acuhkan
sebagai tidak dipedulikan. Menurut KBBI kata “Acuh” sendiri berarti peduli.
Setelah
membaca kedua hal tersebut mari kira kembali kepada pembahasan ahli bahasa. Dia
menjelaskan kata pakai, dibohongi, dengan dan sebagainya yang sulit dimengerti,
kesimpulannya dia setuju bahwa Ahok dan pembelanya itu salah.
“Apakah
perlu menjadi ahli bahasa untuk memahami seseorang?”
“Apakah
perlu menjadi ahli bahasa untuk mendengarkan maksud seseorang dengan menelaah
setiap katanya?”
“Apakah
perlu menjadi ahli bahasa untuk memahami sebuah lirik lagu?”
“Apakah
perlu?”
Jika
memang begitu, menyusahakan sekali rasanya hidup ini.
Bukan
mengenai kata yang salah digunakan melainkan maksud yang sampai ke pendengar. “Dibohongi
pakai Al-Maidah 51”, bagi orang awm soal bahasa sudah jelas bahwa maksud Ahok
adalah orang bukan ayatnya secara langsung. Disini juga sudah jelas, kita tidak
perlu mengungkit soal tafsir.
Melihat
perjalanan hidup Ahok mulai dari Bupati hingga Gubernur, sudah jadi fakta bahwa
Ahok sudah sering diserang oleh orang – orang yang bagi pihak berseberangan. Adapun
yang tidak bisa dihindarkan bahwa sebagai orang yang hidup dilingkungan politik
maka kacamatanya tentu kacamata politik. Sehingga ketika ia merasa dipojokkan
makan semua serangan tersebut akan dianggap sebagai serangan pilitik, meski ini
tak berarti ia mengabaikan bahwa serang tersebtu mungkin hanyalah sebuah seruan
seorang ahli agama kepada umatnya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada
dasarnya masyarakat tidak perlu menjadi ahli bangsa, agama atau pun kelautan
untuk meyakini diri bahwa Ahok bersalah. Karena disinilah kunci dari
berhusnudzon bahwa yang dimaksud Ahok adalah orang uang mempolitisasi bukan pendakwah
dan Al-Quran karena rasanya tidak mungkin juga Ahok yang sebagai minoritas
menyerang pendakwah dan kitab suci dari agama yang dipeluk oleh masyarakat
mayoritas, sementara ia berniat mencalonkan diri sebagai Gubernur dilingkungan
masyarakat mayoritas tersebut.

Komentar
Posting Komentar